Menyinggung masalah media cetak dalam karya fiksi bernilai sejarah, Minke, tokoh utama dalam novel Bumi Manusia garapan Pramoedya Ananta Toer, mengalami peristiwa buruk dalam hidupnya. Pihak pemerintah, dalam hal ini kolonial Belanda, memperkarakan hak asuh Annelies yang sudah menjadi istrinya untuk dikembalikan ke Belanda. Hal ini dikarenakan hukum Belanda yang menentukan Annelies harus dipelihara dan dijaga oleh orang Belanda, karena ia keturunan Belanda.
Bahkan Ibunya, Nyi Ontosoroh, pun tak diperbolehkan menjaga anaknya. Dalam keadaan tersebut Minke menuliskan dalam bahasa melayu, yang sebelumnya selalu ditulis dalam bahasa Belanda, mengenai kasus yang menimpanya ini di media cetaknya.
Publikasi kasus melalui media milik Minke berhasil membuat propaganda bahwa kolonial menghina kaidah-kaidah agama Islam di daerah mereka. Banyak pihak bereaksi terhadap berita yang ditulis Minke itu. Tulisan dalam media cetak yang berbahasa melayu itu sampai mengakibatkan pertumpahan darah antara masyarakat dan orang-orang Madura yang mengamuk pada Belanda.
Begitu besarnya dampak media massa terhadap sebuah kasus saja. Efek tersebut pernah dibahas Jalaluddin Rakhmat dalam bukunyaPsikologi Komunikasi, menurut Steven H. Caffee, dalam Rakhmat, ada lima efek media massa yang terjadi yaitu: efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kegiatan, efek pada penyaluran atau penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media.
Efek yang terjadi dalam cerita Minke tadi bisa dikataka sebagai efek sosial dari media massa. Efek sosial berkenaan dengan struktur atau interaksi sosial. Pesan yang dibawa media itu menimbulkan susasana emosional atau menjadi stimulan bagi keadaan masyarakat dalam tekanan Belanda waktu itu.
Sekilas Media Cetak dan Sejarah Pers Indonesia
Membincang media cetak tentunya tak lepas dari bagaimana fungsi media cetak tersebut sebagai salah satu media perjuangan Indonesia pada masa kolonial. Melalui ini kita dapat sedikit mempelajari bagaimana reaksi-reaksi yang ditimbulkan melalui konten dari media cetak yang ada mulai dari masa kolonial.
Masa kolonial adalah masa peperangan bagi banyak pers. Beberapa surat kabar daerah telah lama menjadi alat perang dalam melawan pemerintah Belanda. Di antaranya surat kabar daerah Palita Ketjil (Padang 1893), Otoesan Melajoe (Padang, 1911), Retnodhoemilah(Yogyakarta; 1900), Bintang Hindia (1901), Pemberita Betawi (Jakarta 1902). Dikelola oleh kaum terpelajar dan surat kabar pada masa itu digunakan sebagai alat propaganda.
Salah seorang tokoh pelopor pers Indonesia, Minke atau Tirto Adhi Soerjo, merupakan pendiri koran mingguan Medan Prijaji pada 1907. Tirto mengambil kebijakan redaksi yang memberikan kelonggaran bagi pembacanya menulis apa saja dan mengadukan hak-haknya yang tercurangi.
Tercatat Medan Prijaji pernah mengurusi 225 warga yang berperkara pada pemerintah. Selain itu, tradisi media cetak ini pula yan menjadi pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya tradisi politik modern. Masih banyak lagi pers masa kolonial, seperti De Express yang dasuh oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang membawa kata sakti “merdeka” dan juga menjadi musuh bebuyutan pemerintah Belanda.
De Express juga memuat tulisan legendaris Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als ik Nederlander was”. Masih banyak lagi seperti Meda Muslimin asuhannya Hadji Mohammad Misbach, Perempuan Bergerakasuhan Siti Rohana Kudus, Soeara Moehammadijah asuhan Ahmad Dahlan dan beberapa lainnya, mereka terbit dengan dukungan tokoh pergerakan masing-masing.
Dari sini, dapat diketahui bahwa hampir semua wartawan Indonesia di zaman ini merupkan politisi. Memasuki era Orde lama independensi pers kemudian banyak dipertanyakan. Sejak awal berdirinya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Soekarno merasa kecewa dan berhasil memaksa PWI yang semula independen ke dalam Front Nasional dengan alat doktrin Nasakom dala sistem pers Terpimpin sebagai bagan dari sistem.
Pada ahirnya Soekarno memanfaatkan PWI untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Selama pemerintahan orde lama kebebasan pers benar-benar ipasung. Belum lagi dengan dberlakukannya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak).
Pembredelan dan pemberangusan terus berjalan terhadap penerbitan pers yang tidak sejalan dengan politik pemerintah. Semua berita politik yang kontrarevolusi akan dianggap subversif. Orde baru adalah penanda berpindahnya pemerintahan dengan paksa oleh beberapa oknum yang menuju ke pemerintahan Soeharto.
Setelah peristiwa 30 September Orde Baru menggunakan PWI sebagai alat untuk membersihka pers nasional dari anasir-anasir Orde Lama. Semua wartawan yang dicurigai komunis dipecat begitu saja. PWI sudah tak berdaya sebagai organisasi independen.
PWI tak bisa melindungi anggotanya ketika pemerintah membredel puluhan surat kabar yang memuat tentang peristiwa Malari. Dalam kilasan sejarah lainnya terdapat geliat pers kampus. Koran kampus Harian Kami adalah satu-satunya pers mahasiswa yang bermetamorfosis menjadi pers umum sekaligus membingkar kredo bahwa pers mahasiswa sebagai pers amatiran.
Kendala yang mereka alami bukannya benturan dengan pers umum, melainkan denga aparat kekuasaan yang puncaknya adalah ketika peristiwa Malari. Memasuki era 1990-an pemerintah semakin keras terhadap pers. Tempo, DeTIK, dan Editor dibredel.
Wartawan-wartawan yang tak puas lalu menyatukan sikap dan mendeklarasikan organ wartawan baru dengan nama Aliasi Jurnalis Independen (AJI). Terbentuk pada 7 agustus 1994 di Bogor dan deklarasi ini dikenal sebagai deklarasi sinargalih.
Hingga reformasi terwujud media tidak berhenti tapi malah lebih cepat berkembang. Sampai reformasi yang terjadi 1998 hingga sekarang media mulai muncul dan berkembang dengan berbagai bentuk. Bukan hanya koran, televisi, radio dan sebagainya tetapi juga internet yang sekarang dikenal dengan Media Online.
Media Cetak VS Media Online
Reformasi bergulir sudah lebih dari sepuluh tahun, hal tersebut kalah cepat dengan perkembangan media online yang arus informasinya sulit dibendung kecepatannya seolah lebih cepat 100 tahun dari reformasi sendiri. Media online yang bertahan dan lebih banyak dikenal sekarang ada banyak, di antaranya adalah Detik.com, Kompas.com, Pedomannews.com, Inilah.com, Okezone.com dan banyak lagi portal berita online.
Konon gerakan 1998 dilakukan penyebarluasan informasinya lewat internet, yaitu melalui Detik.com. Perbedaan antara media cetak dan media online ada pada proses produksi, distribusi hingga konsumsinya. Pada produksinya media cetak tentu saja akan berhubungan dengan bagaimana kehadirannya menghidupkan pabrik yang menyuplai kertas koran, menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi pekerjaan pada wartawan ahli rancang grafis, pengedar dan pengecer pada distribusinya, pencari iklan dan sebagainya.
Berbeda dengan media cetak, media online lebih mudah dalam hal produksi, distribusi hingga konsumsinya. Pengelola media online hanya butuh menyewa portal atau web kemudian merancang bentuknya dan dia bisa langsung memulai pekerjaannya tanpa harus menghubungi pabrik kertas, percetakan atau sejenisnya.
Dari segi pegawai media online bisa menggunakan wartawan atau pengelolanya sendiri yang menjadi wartawan. Berita yang dipublikasi juga tak harus menunggu lama seperti koran yang harus melewati proses cetak dalam masa produksi. Berita online dapat langsung di-publish setelah tak lama mendapat beritanya.
Dalam hal ini, jelas berita oline lebih cepat dalam hal kecepatan informasi yang dibutuhkan pembaca dan dalam hal distribusi bisa dilakukan dengan gratis. Namun, kelemahan media cetak yang ditutupi oleh media online pun punya kelemahan lain.
Kelemahan media online seperti sumber-sumber berita yang tidak bisa dipastikan jikalau media onlinenya berbentuk blog atau media sosial yang hak milik akunnya pribadi atau ketika melakukan polling di media nnline bisa saja banyak orang yang tak bertanggung jawab melakukan polling lebih dari sekali sehingga validitas datanya patut dipertanyakan.
Masuk ke wilayah distribusi, media online akan dikonsumsi hanya oleh masyarakat yang dapat mengakses internet di di wilayah tempatnya tinggal. Tentunya dalam keadaan teknologi informasi yang begitu cepatnya tak menutup kemungkinan bahwa media cetak akan hilang.
Namun, perlu penelitian lebih jauh untuk mendapatkan hipotesa yang mendekati kemungkinan. Untuk hari ini masyarakat masih mengkonsumsi media cetak. Bahkan, di daerah-daerah banyak bermunculan media lokal yang berasal dari anak perusahaan media nasional, seperti Tribun yang namanya dipadankan dengan daerah tempat terbitnya misalnya di Yogyakarta ada Tribun Jogja atau di Yogyakarta sendiri ada Harian Jogja dan masih banyak lagi.
Akan tetapi untuk menyambung media cetak dan online agar seimbang, banyak media massa sekarang yang menggunakan jurnalisme konvergensi. Jurnalisme konvergensi adalah ketika berta yang ada di cetak akan dikonversi menjadi berita untuk radio, televisi dan online sekaligus. Seperti contohnya Kompas konversi ke KompasTV dan Kompas.com.